KOTA, InfoSidoarjo.com – Tepat hari ini, 8 Mei 2025, genap 32 tahun sejak Marsinah ditemukan tewas secara tragis di sebuah gubuk hutan wilayah Wilangan, Nganjuk. Namanya kini abadi dalam sejarah perjuangan buruh di Indonesia, khususnya bagi kaum perempuan.
Marsinah bukan hanya korban kekerasan, tapi simbol perlawanan terhadap ketidakadilan.
Marsinah lahir di Nganjuk pada 10 April 1969. Sejak 1990, ia bekerja sebagai buruh di pabrik arloji PT Catur Putra Surya (CPS) yang berada di kawasan Porong, Sidoarjo. Dikenal sebagai pribadi vokal, Marsinah kerap menyuarakan keluhan dan tuntutan rekan-rekannya terhadap kebijakan perusahaan yang dirasa merugikan buruh.
Puncak perlawanan itu terjadi pada awal Mei 1993. Kala itu, pemerintah mengimbau pengusaha menaikkan gaji pokok buruh sebesar 20 persen. Namun, perusahaan tempat Marsinah bekerja menolak menaati kebijakan tersebut. Bersama rekan-rekannya, Marsinah ikut menyusun rencana aksi protes.
Pada 3 Mei 1993, buruh PT CPS menggelar mogok kerja dan mengajukan 12 tuntutan kepada pihak manajemen. Aksi tersebut memicu ketegangan. Sebanyak 15 buruh, termasuk Marsinah, diundang untuk berunding dengan perusahaan.
Namun, pada 5 Mei, situasi berubah drastis. Marsinah mendengar kabar bahwa 13 orang rekannya yang turut dalam perundingan dianggap sebagai penghasut. Mereka digiring ke markas Komando Distrik Militer (Kodim) Sidoarjo. Marsinah, yang khawatir atas nasib rekan-rekannya, berinisiatif mendatangi Kodim untuk mencari tahu kabar mereka.
Malam itu, Marsinah tak pernah kembali. Ia menghilang sejak tanggal 5 Mei. Empat hari kemudian, tepatnya 9 Mei 1993, jasadnya ditemukan di sebuah gubuk di hutan Wilangan. Hasil otopsi menunjukkan bahwa ia mengalami penyiksaan berat sebelum tewas. Ia diduga telah meninggal sehari sebelum ditemukan.
Kematian Marsinah menjadi pukulan bagi dunia perburuhan Indonesia. Hingga kini, kasusnya belum sepenuhnya terungkap. Siapa pelaku penyiksaan dan pembunuhnya masih menjadi misteri yang belum terpecahkan secara tuntas.
Namun, dibalik ketidakjelasan hukum itu, Marsinah telah menjelma menjadi ikon perjuangan buruh perempuan. Namanya terus dikenang dalam setiap aksi peringatan Hari Buruh. Ia menjadi simbol keberanian perempuan melawan penindasan dan ketidakadilan di tempat kerja.
Marsinah bukan hanya nama. Ia adalah semangat yang terus hidup dalam perjuangan para buruh hingga hari ini.
Dari pabrik arloji sederhana di Porong, suara Marsinah kini bergema jauh melampaui batas ruang dan waktu—menjadi pengingat bahwa perjuangan untuk keadilan dan martabat tidak pernah boleh padam.
Marsinah juga menjadi simbol penting dalam pergerakan perempuan pekerja di Indonesia. Dalam dunia yang kerap menempatkan perempuan sebagai pihak paling rentan.
Keberanian Marsinah untuk bersuara di tengah tekanan perusahaan dan aparat militer, menunjukkan bahwa perempuan pun mampu menjadi garda depan perjuangan sosial. Ia bukan sekadar buruh, tapi juga aktivis yang memiliki kesadaran kelas dan keberpihakan terhadap sesama.
Atas jasanya, berbagai penghargaan dan penghormatan diberikan secara simbolik oleh berbagai organisasi masyarakat sipil. Namanya diabadikan dalam sejumlah forum, seminar, dan kajian buruh.
Di Yogyakarta, Jakarta, dan beberapa kota lain, patung dan mural Marsinah berdiri sebagai pengingat bahwa perjuangannya belum selesai.
Kini, di tengah dinamika dunia kerja yang terus berubah, kisah Marsinah menjadi cermin sekaligus alarm. Bahwa keadilan bagi buruh masih menjadi PR besar di negeri ini.
Dan, suara-suara seperti Marsinah, yang dulu dibungkam, harus terus digemakan agar tak ada lagi ketidakadilan yang luput dari perhatian. Marsinah mungkin telah tiada, tapi perjuangannya tetap hidup. (*Red)