Abolisi Tom & Amnesti Hasto: Keadilan Dipertaruhkan Pakar Hukum 

Sidoarjo, infosidoarjo.com – Ketika api semangat pemberantasan korupsi belum padam, publik kembali diguncang oleh kabar soal abolisi terhadap Thomas Lembong dan amnesti bagi Hasto Kristiyanto. Dua kebijakan hukum tertinggi itu bukan hanya menuai kontroversi, tetapi juga mengguncang akar kepercayaan publik pada hukum dan etika politik negeri ini.

Abd. Gofur, SH., MH., ahli hukum pidana dari AGP Law Office dan lulusan magister Universitas Airlangga, menilai kebijakan ini menyentuh wilayah paling sensitif dalam tata kelola keadilan bangsa.

“Abolisi maupun amnesti bukan produk politik, tetapi harus diletakkan dalam kerangka keadilan hukum yang objektif dan tidak diskriminatif,” ujarnya tegas saat diwawancarai infosidoarjo.com.

Abolisi Tom Lembong: Menghapus Jejak atau Akuntabilitas? 

Thomas Lembong, mantan Menteri Perdagangan era Presiden Jokowi, disebut-sebut menerima abolisi atas dugaan kasus korupsi terkait kebijakan impor gula yang menimbulkan kerugian negara.

Gofur menilai, apabila benar kasusnya berkaitan dengan tindak pidana korupsi, maka pemberian abolisi dapat dibenarkan secara hukum formal. Namun, ia menekankan pentingnya transparansi dalam pengambilan keputusan tersebut.

“Korupsi adalah extraordinary crime. Pemberian abolisi tanpa uji etika dan transparansi hanya akan memperbesar jurang ketidakpercayaan publik,” ungkapnya.

Ia mengingatkan, abolisi seharusnya tidak menjadi celah politis yang membebaskan elit dari tanggung jawab hukum. “Abolisi bukan penghapus dosa. Ia harus diuji dalam cahaya transparansi secara terang benderang,” tambahnya.

Amnesti Hasto: Stabilitas Politik atau Etika Tergerus? 

Kasus Hasto Kristiyanto tak kalah sensitif. Sekjen PDI Perjuangan itu tersangkut dugaan menghalangi penyidikan KPK (obstruction of justice), namun disebut-sebut memperoleh amnesti.

Menurut Gofur, amnesti idealnya diberikan untuk tindak pidana politik demi rekonsiliasi, bukan perkara yang menyentuh integritas penegakan hukum.

“Kalau kasusnya berkaitan dengan obstruction of justice, maka amnesti bisa berbahaya bagi integritas penegakan hukum,” ujarnya.

Ia menekankan, amnesti bukan alat kompromi politik. “Kita sedang menata ulang peradaban hukum, bukan sekadar memenangkan narasi politik,” jelas alumnus UWK Surabaya ini.

 

Ketika Hukum Diseret ke Panggung Kepentingan Politik

Secara konstitusional, baik abolisi maupun amnesti memang menjadi hak Presiden berdasarkan Pasal 14 UUD 1945. Tapi, kata Gofur, tak cukup hanya legal. Kebijakan itu juga harus sah secara etis dan kontekstual.

“Lebih dari sekadar pertimbangan DPR dan MA, abolisi dan amnesti juga harus melewati saringan akal sehat rakyat dan nurani konstitusi. Jangan sampai hukum menjadi instrumen elite untuk melupakan keadilan,” ujarnya penuh penekanan.

 

Hukuman Sosial: Ketika Publik yang Menjatuhkan Vonis

Di luar sistem hukum formal, Gofur menilai ada sanksi sosial yang lebih keras: public punishment. Bagi mereka yang dinilai melakukan kesewenang-wenangan, masyarakat punya cara sendiri menjatuhkan sanksi: mengucilkan dan mencabut kepercayaan.

“Itu nanti akan dicap sama orang bahwa ini pejabat tidak benar, ini pejabat ini ternyata setelah menjabat melakukan kesewenang-wenangan kepada warganya. Sedikit-sedikit warganya dilaporkan,” tuturnya.

Menurutnya, sanksi sosial lebih mematikan karena berdampak langsung pada posisi sosial dan politik seseorang. “Kalau satu desa tidak welcome sama Kadesnya, itu justru lebih berbahaya daripada hukuman pidana atau perdata,” tandas Gofur.

 

Saatnya Negara Mendengar Suara Hati Rakyat

Dalam dinamika politik nasional yang semakin kompleks, publik berharap hukum tetap menjadi panglima. Namun ketika abolisi dan amnesti menjadi alat kompromi kekuasaan, suara hati rakyatlah yang harus diutamakan.

Kini pertanyaannya, apakah bangsa ini masih percaya pada keadilan sebagai fondasi hukum? Ataukah publik hanya bisa berharap pada hukuman sosial ketika hukum formal kehilangan taringnya?

infosidoarjo.com terus mengikuti perkembangan isu ini demi menjaga suara nurani masyarakat tetap didengar.