Infosidoarjo.com – Skandal kasus pemerasan oknum wartawan di wilayah Sidoarjo akhirnya terkuak ke permukaan. Laporan polisi Polresta Sidoarjo kini tidak hanya menjerat LAT, mantan istri siri pegawai Lapas Surabaya, tetapi juga dua orang oknum wartawan berinisial JH dan WI. Kedua pihak tersebut resmi dilaporkan atas dugaan kuat pelanggaran hukum pidana yang serius. Kamis, (21/8/2025).
Andry Ermawan, kuasa hukum RRH, mantan suami LAT, secara resmi mengajukan laporan tersebut pada Senin (11/8) lalu. Laporan pidana ini dirinci dengan tuduhan tindak pemerasan dan pengancaman yang secara jelas melanggar Pasal 369 KUHP. Dasar hukum tersebut menjadi pijakan kuat untuk mengusut tuntas modus operandi pemerasan yang dilakukan.
Awal mula kasus hukum Sidoarjo ini berakar dari laporan LAT terhadap RRH terkait tuduhan penganiayaan. Laporan LAT itu sendiri telah diregister di Polresta Sidoarjo sejak 8 Agustus 2024. Dari sanalah, jejak dugaan pemerasan oleh oknum yang mengaku wartawan mulai terungkap secara sistematis.
Kronologi aksi pemerasan ini mulai terendus sekitar Maret 2025. Saat itu, klien kuasa hukum dihubungi oleh JH dari media Tv Nasional yang mengaku memiliki informasi mengenai laporan polisi yang sedang berjalan. JH kemudian mengajak bertemu di sebuah tempat di kawasan Masjid Al-Akbar Surabaya, tepatnya di sebuah pujasera yang cukup ramai.
Dalam pertemuan tersangka tersebut, JH tidak datang sendirian. Ia didampingi oleh seorang rekan yang juga mengaku sebagai wartawan media Online dengan inisial WI. Dalam kesempatan itu, WI menyampaikan ancaman terselubung bahwa kuasa hukum LAT berencana menggelar konferensi pers dan akan mempublikasikan berita kasus hukum ini secara luas di berbagai media online.
Guna mencegah publikasi media yang dapat mencemarkan nama baik, JH dan WI kemudian meminta uang pengertian. Pada pertemuan pertama itu, RRH hanya mampu memberikan Rp 500 ribu untuk masing-masing orang. Sayangnya, pemberian ini justru memicu permintaan uang berulang yang semakin meningkat.
Setelah insiden di pujasera, oknum wartawan itu kerap menghubungi dan mendatangi RRH. Setiap interaksi diwarnai dengan permintaan dana dengan dalih yang sama: mencegah pemberitaan media terkait kasus tersebut. Pola ini berlangsung terus menerus dan menunjukkan eskalasi yang signifikan.
Eskalasi tindak pemerasan memuncak pada 12 Juni 2025. JH kembali menghubungi RRH, kali ini melalui aplikasi WhatsApp. Dalam percakapan digital itu, JH mengajak RRH bertemu di Cafe LIMAS Sidoarjo. Dalam pertemuan itu, dugaan pemerasan mencapai level baru.
Kedua oknum pers tersebut secara terbuka meminta uang sebesar Rp 10 juta. Dengan tekanan yang semakin menjadi, RRH yang merasa terpojok akhirnya hanya mampu mentransfer Rp 3 juta ke rekening pelaku. Bukti transfer ini kemudian menjadi salah satu alat bukti kuat dalam proses hukum.
Pemberian uang yang telah mencapai jutaan rupiah ternyata tidak menghentikan aksi premanisme pers. JH dan WI justru semakin agresif dengan mendatangi kantor korban secara langsung. Kedatangan mereka menciptakan tekanan psikologis yang berat bagi RRH dan stafnya.
Pada Juli 2025, kedua terlapor pemeras ini bahkan sempat meluapkan kemarahan di depan karyawan kantor RRH. Amarah mereka dipicu karena gagal bertemu langsung dengan RRH. Perilaku ini semakin mengukuhkan unsur pengancaman dalam tindak pidana yang dilakukan.
Andry Ermawan menegaskan bahwa laporan pemerasan ini didukung oleh bukti-bukti kuat. Mereka telah mengumpulkan bukti digital berupa riwayat chat WhatsApp yang menunjukkan seluruh rangkaian komunikasi. Selain itu, terdapat bukti transfer bank yang menunjukkan aliran dana.
Yang tak kalah penting, ada rekaman percakapan yang berhasil mengabadikan momentum pemerasan terselubung. Kelengkapan bukti ini diharapkan dapat mempercepat proses penyidikan polisi dan penetapan tersangka.
Sebagai seorang pegawai Lapas, RRH tidak hanya mengalami kerugian materiil tetapi juga tekanan mental yang berat. Nama baik dan reputasi profesionalnya menjadi taruhan dalam skandal pemerasan ini. Ancaman pemberitaan negatif menjadi senjata ampuh yang digunakan para oknum.
Andry, yang juga mantan Ketua Tim Hukum Anies Baswedan Jawa Timur, berharap penyidik Polresta Sidoarjo dapat bekerja secara profesional. Ia mendorong agar status JH dan WI segera dinaikkan menjadi tersangka pemerasan untuk proses hukum yang lebih lanjut.
Belakangan, muncul oknum jurnalis lain yang mencoba mewawancarai Andry terkait kasus ini. Namun, saat diminta menunjukkan kartu pers resmi, orang tersebut menolak. Yang mencurigakan, berita kasus ini ternyata tetap ditulis dan disebarkan tanpa verifikasi.
Andry meyakini bahwa wartawan tanpa identitas tersebut merupakan bagian dari jaringan pemerasan yang sama. Pola ini menunjukkan adanya operasi sistematis yang memerlukan penyelidikan lebih mendalam oleh aparat kepolisian.