Univ. Wijaya Kusuma Surabaya Diguncang Masalah, Krisis Demikrasi Akademik di Kampusnya 

Surabaya – Infosidoarjo  — Aroma krisis tengah menyelimuti Fakultas Hukum Universitas Wijaya Kusuma Surabaya (FH UWKS). Suara Senat Diabaikan, Mahasiswa Menurun, Petinggi Kampus Justru Sibuk Bermanuver!

Di tengah tantangan serius berupa penurunan signifikan jumlah mahasiswa baru dan ancaman asesmen BAN-PT untuk Program Magister Hukum, para pemegang kekuasaan di kampus justru memilih sibuk “berpolitik” dalam ajang pemilihan dekan, alih-alih menyelamatkan masa depan fakultas.

Keputusan mengejutkan muncul pada 15 Juli 2025, ketika pihak universitas mengumumkan penetapan Dr. Edi Krisharyanto, S.H., M.H. sebagai Dekan FH UWKS periode 2025–2029 melalui surat No: K.834/TU/UWKS/VII/2025. Namun, penetapan ini memicu badai protes dari sebagian anggota Senat Fakultas.

Melalui surat resmi yang ditujukan kepada Ketua Yayasan dan Rektor UWKS, senat menyampaikan keberatan keras dan mendesak klarifikasi atas penunjukan yang dinilai sarat kejanggalan.

Pasalnya, suara senat yang seharusnya menjadi penentu utama dalam proses demokrasi kampus justru diabaikan.

“Calon dengan nilai tertinggi dari hasil penilaian senat bukan Dr. Edi Krisharyanto!” tegas surat tersebut. “Hal ini menunjukkan pengabaian terhadap proses seleksi akademik yang sah dan objektif.”

Tak hanya itu, senat juga menyebut bahwa proses pemilihan minim transparansi, tidak akuntabel, dan berpotensi mencederai prinsip meritokrasi yang seharusnya menjadi roh perguruan tinggi.

Lebih jauh, para akademisi mengingatkan bahwa fakultas saat ini tengah berada di persimpangan krusial: Jumlah mahasiswa baru merosot drastis, Program S2 tengah menghadapi asesmen BAN-PT yang krusial, Tapi internal kampus malah gaduh karena tarik-menarik kepentingan.

Situasi ini dinilai bisa memicu ketidakstabilan internal, demoralisasi dosen, dan kerusakan atmosfer akademik.

Terlebih lagi, jika kampus tak segera melakukan koreksi, kepercayaan publik terhadap FH UWKS akan terus tergerus.

“Kami tidak tinggal diam ketika suara akademisi dibungkam. Ini bukan sekadar soal jabatan, tapi soal masa depan fakultas!” tulis senat dalam suratnya.

“Jika suara senat tak lagi dijadikan rujukan utama, maka apa bedanya universitas dengan panggung politik?” kata Dr. Burhanuddin Muhtadi, pakar politik dan akademisi dari UIN Jakarta.

“Dalam dunia akademik, legitimasi berasal dari kualitas, bukan kedekatan dengan kekuasaan,” tambahnya.

Sementara itu, Prof. Dr. R. Siti Zuhro, ahli tata kelola publik dari BRIN, menyebut, Jika suara senat tidak lagi dihormati, maka kita sedang menyaksikan proses kematian lambat dari budaya akademik yang sehat,” dan “Perguruan tinggi bukan ruang gelap untuk kompromi politik.

Ketika proses pemilihan pimpinan diintervensi tanpa dasar meritokrasi, maka kita sedang menyaksikan dekadensi intelektual.”

Kini, bola panas ada di tangan pimpinan universitas dan yayasan. Akankah mereka menjawab panggilan moral untuk mengembalikan demokrasi akademik, atau terus melanggengkan praktik yang mencoreng integritas kampus?

FH UWKS berada di titik nadir. Akankah suara nurani akademisi didengar, atau akan kembali dikubur oleh manuver-manuver kekuasaan?

Kampus harus diselamatkan, sebelum kepercayaan benar-benar hilang.