Putusan MK Bakal Berdampak Signifikan Terhadap Peta Politik di Sidoarjo

SIDOARJO – Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang memisahkan pemilu nasional dan pemilu daerah menuai beragam respon dari berbagai kalangan. Termasuk dari kalangan pengamat politik, penyelenggara pemilu, mahasiswa, dan sejumlah elemen di Sidoarjo.

Setidaknya hal itu terlihat dalam diskusi publik yang digelar Forum Wartawan Sidoarjo (Forwas), Senin (14/7/2025) malam. Sejumlah kalangan menyampaikan pendapatnya terkait rencana perubahan aturan dalam pelaksanaan pemilu di Indonesia tersebut.

Tiga narasumber hadir dalam kegiatan itu. Komisioner KPU Sidoarjo, Bawaslu Sidoarjo, dan Pengamat Politik. Mereka menilai putusan ini sebagai langkah besar yang akan mengubah peta politik lokal secara signifikan.

Nanang Haromain, Pengamat politik dari Sidoarjo menyebut keputusan ini sebagai hasil dari perjuangan panjang dan bukan perkara sepele. Ia menilai pemilu lokal mendatang akan jauh lebih menarik karena tak lagi tertutup oleh gemerlap pemilu nasional.

“Putusan MK 135 tentang pemisahan pemilu bukanlah perjuangan singkat, namun sangat panjang. Pemilu lokal bakal lebih menarik. Di sisi lain pemilu Nasional tak lagi menjadi magnet yang menarik. Perubahan menjadi tambahan 2 tahun, bakal menarik apakah incumbent bisa menata segala sesuatunya atau tidak. Yang menarik nanti adalah caleg gandeng calon bupati,” katanya.

Peta politik di Sidoarjo pun diyakini bakal berubah. Jika selama ini caleg DPRD Sidoarjo biasa bergandeng dengan caleg provinsi dan caleg nasional, ketika pemilu dipisah kemungkinan besar mereka bergandengan dengan calon kepala daerah.

“Dan itu menguntungkan kedua pihak. Meringankan kerja di lapangan untuk menguatkan elektoral. Sekaligus, meminimalisir ongkos yang harus dikeluarkan,” lanjutnya.

Sementara Komisioner KPU Sidoarjo Haidar Munjud menyatakan bahwa secara kelembagaan, KPU harus mengikuti segala ketentuan hukum yang berlaku karena bersifat hierarkis. Ia menegaskan, bonus masa jabatan dua tahun akibat perubahan jadwal bukan hal baru, melainkan konsekuensi konstitusional dari keputusan MK.

“UU pasal 24, MK mengadili tingkat pertama dan terakhir. Pada putusan MK no 136 itu, 9 hakim MK putusan 135 semua setuju. Ada pemisahan pemilu nasional dan lokal. Nasional 2029 dan daerah 2031. Secara UU periodik 5 tahun pemilu, sehingga ada bonus 2 tahun. KPU itu lembaga hierarkis, sehingga harus manut apa kebijakan nasional,” tegasnya.

Dia juga mengungkit sejarah tentang masa jeda itu. Di Indonesia, bukan pertama kali ada jeda penyelenggaraan pemilu. Sebelumnya juga pernah. Sehingga diyakini pelaksanaannya bakal tetap berjalan baik. Utamanya di Sidoarjo, yang sejarahnya mencatat tidak pernah ada kerusuhan atau sebagainya dalam pelaksanaan pemilu.

“Pemilu di Sidoarjo selalu panas dan seru. Tapi tidak pernah sampai terjadi kerusuhan atau hal-hal berlebihan lainnya. Saya yakin, ke depan juga kita semua akan terus dan tetap bisa menjaga itu,” ujarnya.

Nada lebih kritis datang dari Ketua Bawaslu Sidoarjo, Agung Nugraha, yang melihat potensi keuntungan politik bagi partai besar dalam sistem pemilu yang dipisah ini. Ia menyebut struktur partai, netralitas birokrasi, dan lemahnya bangunan partai sebagai persoalan serius dalam demokrasi lokal saat ini.

“Saat dipisah, 3 partai besar diuntungkan, partai yang memiliki struktur dan landasan yang kuat. Evaluasi Pemilu 2024 menunjukkan netralitas birokrasi masih bermasalah. Praktik cawe-cawe terbukti destruktif dan rawan disintegrasi. Setelah pilkada langsung diberlakukan, terbukti kemenangan kepala daerah berdampak pada naiknya suara partai di pemilu berikutnya,” jelas Agung.

Dia menyoroti celah pengawasan yang melemah dan potensi konflik kepentingan yang belum disentuh dalam revisi undang-undang politik. Yang menurutnya, hal itu perlu menjadi perhatian banyak kalangan.

“Putusan MK soal jadwal pilkada membuat pengawasan lebih longgar dan menghapus wacana ad-hoc. Tapi konflik partai dan UU Parpol belum tersentuh dalam paket UU politik. Masalah pilkada bukan sekadar biaya mahal, tapi lemahnya bangunan partai. Idealnya, ekosistem produksi warga menyatu dengan ekosistem politik. Di beberapa desa, suara partai stabil karena ketua koperasi juga kader partai. Ini bukti bahwa basis ekonomi bisa menopang kekuatan politik,” kata dia.

Kekhawatiran masyarakat pun tak bisa diabaikan. Mereka menilai pemisahan pemilu ini memberi celah bagi partai pemenang pemilu nasional untuk mengatur strategi politik di daerah, termasuk dalam penunjukan penjabat (Pj) kepala daerah oleh Mendagri yang dinilai rawan digunakan untuk kepentingan elektoral calon tertentu.

Dengan keputusan MK ini, demokrasi Indonesia tengah memasuki babak baru, lebih terstruktur, tapi juga penuh tantangan tersembunyi. Pertanyaan dan argumen dari para peserta diskusi juga menambah hangat suasana. Sampai menjelang tengah malam, acara baru selesai.(cakto)